SURABAYA, (24/6)
Suasana di salah satu gang kecil di kompleks lokalisasi Dolly, tepatnya di
jalan Jarak, sore itu tampak ramai dan bising. Tak memedulikan panasnya
matahari dan debu knalpot puluhan kendaraan yang melewati gang sempit dua arah
tersebut, warga Dolly berbondong-bondong berkumpul untuk menyaksikan suatu
atraksi. Gang kecil tempat pertunjukkan tersebut diadakan sengaja ditutup
sementara untuk kepentingan acara teatrikal yang mengundang mantan peserta The
Master RCTI, dikenal dengan nama Mbah Gimbal. Pesulap nyentrik dengan rambut gimbal dikepang yang panjangnya hampir
menyentuh pinggang tersebut sengaja datang dari Jakarta untuk menunjukkan
dukungannya kepada Dolly yang kini sedang dalam masa “konflik” sehubungan
dengan ancaman ditutupnya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara tersebut oleh
pemerintah kota (Pemkot).
Atraksi yang cukup ekstrem itu dibuat sedemikian rupa untuk menggambarkan perlakuan
tak senonoh yang dialami warga Dolly dari pemerintah kota dan pihak-pihak
lainnya. Itu merupakan pertunjukkan teatrikal yang menunjukkan bagaimana
perasaan warga Dolly atas tindakan penutupan paksa oleh Pemkot yang
dilangsungkan Rabu, 18 Juni 2014 lalu. Awal pertunjukkan, Mbah Gimbal yang
diibaratkan sebagai warga Dolly diikat dengan rantai besi dan dibawa paksa oleh
pria-pria berbaju hitam dan berbadan besar, yang dinamai Pasukan Bintang Merah
(pasukan yang dipersiapkan melakukan perlawanan apabila konflik terjadi).
Pasukan Bintang Merah yang berjumlah empat orang tersebut masing-masing
memerankan pemerintah, pemilik modal, dan aparat penegak hukum, yaitu
orang-orang yang selama ini dianggap melakukan penindasan terhadap warga Dolly.
Setelah diseret-seret dan ditarik-tarik dengan rantai, Mbah Gimbal akan diceritakan
disiksa sampai mati oleh para pihak yang terkait, dan secara simbolis seorang
wanita berhijab yang memerankan Walikota Risma menaburkan bunga pada ‘jasad’
Mbah Gimbal yang ditutup kain kafan. Semua hal ini menceritakan bagaimana
mereka memperlakukan Dolly hingga tak berdaya, sampai akhirnya Mbah Gimbal
perlahan-lahan bangkit dari kain kafan putih yang membungkus erat tubuhnya dan
berdiri dengan ekspresi wajah menahan sakit serta berjuang melepas rantai besi
yang mengikat erat tubuhnya. Setelah terbebas sepenuhnya dari belenggu rantai
besi, Mbah Gimbal memberikan pidato singkat mengenai makna dari keseluruhan
pertunjukkan teatrikal yang baru saja diperankannya, dan bagaimana tanggapannya
mengenai penutupan paksa Dolly, diiringi sorakan warga dan pemutaran lagu
“Gebyar-Gebyar”.
“Memang pekerjaan kita adalah pelacur, namun hati
kita tetap untuk rakyat, para oknum-oknum tak bertanggung jawab yang berkedok
aparat, pejabat, dan petinggi lainnya, mereka yang melakukan korupsi,
sesungguhnya mereka lah pelacur-pelacur politik!” demikian sepenggal kata-kata
yang diteriakkan Mbah Gimbal dengan menggebu-gebu, disusul dengan teriakkan
persetujuan warga, yang membuat suasana panas berapi-api amat terasa di gang
sempit tersebut. Berkali-kali warga meneriakkan “Persatuan-persatuan FPL!” saat
teatrikal berlangsung, dan para awak media serta tak sedikit warga yang
menonton pertunjukkan tersebut mengabadikannya melalui kamera Handphone maupun
SLR. Pemberontakkan warga Dolly amat
terasa dalam moment tersebut. Berkali-kali mereka meneriakkan kata-kata yang
berbau “merebut rumah” dan “pengusiran”, yang menunjukkan amarah warga Dolly
terhadap perlakuan pemerintah kota, pemilik modal, dan aparat negara. Tak
terkecuali salah satu warga bernama Rory (39) yang saat ini sedang tak
berjualan sebab sebagian besar “penghuni” Dolly sedang pulang kampong karena
Bulan Puasa. Ibu dua anak ini sebelumnya mencari nafkah dengan berjualan nasi
bungkus di gang 7 Dolly, yang tepat bersebelahan dengan gang tempat diadakannya
pertunjukkan teatrikal singkat Mbah Gimbal. Apabila lokalisasi ditutup,
otomatis seluruh perputaran bisnis (termasuk usaha Rory) di area pelacuran yang
telah berdiri sejak zaman Belanda tersebut menjadi terhambat, bahkan mati.
Bukan hanya perdagangan “perempuan” saja yang ditutup, namun usaha-usaha milik
warga lainnya, pedagang makanan, minuman, bahkan kacang goreng, juga ikut
terancam. Hal ini menjadi beban pikiran yang cukup mengganggu warga yang
menopangkan hidupnya dengan berjualan di Dolly. Rory pun mengaku tidak setuju dan
menentang habis-habisan dengan penutupan Dolly, wanita yang hampir memasuki
usia paruh baya ini mengaku bahwa semua keburukan-keburukan yang disebarkan di
media oleh pemerintah hanyalah bohong belaka. “Yang katanya anak-anak di bawah
umur pada make PSK (Pekerja Seks
Komersil) di sini, itu semua bohong, yang datang ke sini ya udah pada
gede-gede, orang dewasa semua, pada cukup umur,” ujar ibu yang menonton
teatrikal dengan ditemani dua anaknya. Sehubungan dengan anak-anaknya yang
berjumlah dua dan semuanya perempuan, Rory tak keberatan jika harus membesarkan
kedua buah hatinya di lingkungan pelacuran. “Setiap kita di sini ya punya
kehidupan sendiri-sendiri, para PSK ya punya kehidupan sendiri, kita ya biasa
saja,” bahkan Rory mengaku tak khawatir jika anaknya bergaul dengan anak PSK.
“Toh mereka semua juga manusia.”
Pertunjukkan teatrikal yang meskipun hanya sepintas
dengan durasi tak lebih dari setengah jam, namun mampu menunjukkan betapa marah
dan kecewanya warga Dolly terhadap pemerintah, dan menggambarkan tekad kuat
mereka untuk mempertahankan rumah mereka. Di tengah suasana panas konflik,
warga tengah menghimpun kekuatan dan menggalang kekompakkan dalam rangka
melawan perlakuan aparat dan pemerintah. Upaya mereka ini turut mendapat
dukungan dari beberapa pihak, salah satunya Mbah Gimbal. “dengan adanya
lokalisasi saja tingkat pelecehan seksual di Indonesia sudah sangat tinggi,
bayangkan jika tak ada lokalisasi,” ujar Mbah Gimbal kepada pers saat ditemui
usai pertunjukkannya.
Disusun Oleh :
Frederyk
Imanuel 1423012015
Laurencia
Ivenna 1423012016