Wednesday, June 25, 2014

TEATRIKAL SINGKAT UNGKAPKAN KEMARAHAN WARGA

SURABAYA, (24/6) Suasana di salah satu gang kecil di kompleks lokalisasi Dolly, tepatnya di jalan Jarak, sore itu tampak ramai dan bising. Tak memedulikan panasnya matahari dan debu knalpot puluhan kendaraan yang melewati gang sempit dua arah tersebut, warga Dolly berbondong-bondong berkumpul untuk menyaksikan suatu atraksi. Gang kecil tempat pertunjukkan tersebut diadakan sengaja ditutup sementara untuk kepentingan acara teatrikal yang mengundang mantan peserta The Master RCTI, dikenal dengan nama Mbah Gimbal. Pesulap nyentrik dengan rambut gimbal dikepang yang panjangnya hampir menyentuh pinggang tersebut sengaja datang dari Jakarta untuk menunjukkan dukungannya kepada Dolly yang kini sedang dalam masa “konflik” sehubungan dengan ancaman ditutupnya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara tersebut oleh pemerintah kota (Pemkot).
Atraksi yang cukup ekstrem itu dibuat sedemikian rupa untuk menggambarkan perlakuan tak senonoh yang dialami warga Dolly dari pemerintah kota dan pihak-pihak lainnya. Itu merupakan pertunjukkan teatrikal yang menunjukkan bagaimana perasaan warga Dolly atas tindakan penutupan paksa oleh Pemkot yang dilangsungkan Rabu, 18 Juni 2014 lalu. Awal pertunjukkan, Mbah Gimbal yang diibaratkan sebagai warga Dolly diikat dengan rantai besi dan dibawa paksa oleh pria-pria berbaju hitam dan berbadan besar, yang dinamai Pasukan Bintang Merah (pasukan yang dipersiapkan melakukan perlawanan apabila konflik terjadi). Pasukan Bintang Merah yang berjumlah empat orang tersebut masing-masing memerankan pemerintah, pemilik modal, dan aparat penegak hukum, yaitu orang-orang yang selama ini dianggap melakukan penindasan terhadap warga Dolly. Setelah diseret-seret dan ditarik-tarik dengan rantai, Mbah Gimbal akan diceritakan disiksa sampai mati oleh para pihak yang terkait, dan secara simbolis seorang wanita berhijab yang memerankan Walikota Risma menaburkan bunga pada ‘jasad’ Mbah Gimbal yang ditutup kain kafan. Semua hal ini menceritakan bagaimana mereka memperlakukan Dolly hingga tak berdaya, sampai akhirnya Mbah Gimbal perlahan-lahan bangkit dari kain kafan putih yang membungkus erat tubuhnya dan berdiri dengan ekspresi wajah menahan sakit serta berjuang melepas rantai besi yang mengikat erat tubuhnya. Setelah terbebas sepenuhnya dari belenggu rantai besi, Mbah Gimbal memberikan pidato singkat mengenai makna dari keseluruhan pertunjukkan teatrikal yang baru saja diperankannya, dan bagaimana tanggapannya mengenai penutupan paksa Dolly, diiringi sorakan warga dan pemutaran lagu “Gebyar-Gebyar”.
“Memang pekerjaan kita adalah pelacur, namun hati kita tetap untuk rakyat, para oknum-oknum tak bertanggung jawab yang berkedok aparat, pejabat, dan petinggi lainnya, mereka yang melakukan korupsi, sesungguhnya mereka lah pelacur-pelacur politik!” demikian sepenggal kata-kata yang diteriakkan Mbah Gimbal dengan menggebu-gebu, disusul dengan teriakkan persetujuan warga, yang membuat suasana panas berapi-api amat terasa di gang sempit tersebut. Berkali-kali warga meneriakkan “Persatuan-persatuan FPL!” saat teatrikal berlangsung, dan para awak media serta tak sedikit warga yang menonton pertunjukkan tersebut mengabadikannya melalui kamera Handphone maupun SLR.  Pemberontakkan warga Dolly amat terasa dalam moment tersebut. Berkali-kali mereka meneriakkan kata-kata yang berbau “merebut rumah” dan “pengusiran”, yang menunjukkan amarah warga Dolly terhadap perlakuan pemerintah kota, pemilik modal, dan aparat negara. Tak terkecuali salah satu warga bernama Rory (39) yang saat ini sedang tak berjualan sebab sebagian besar “penghuni” Dolly sedang pulang kampong karena Bulan Puasa. Ibu dua anak ini sebelumnya mencari nafkah dengan berjualan nasi bungkus di gang 7 Dolly, yang tepat bersebelahan dengan gang tempat diadakannya pertunjukkan teatrikal singkat Mbah Gimbal. Apabila lokalisasi ditutup, otomatis seluruh perputaran bisnis (termasuk usaha Rory) di area pelacuran yang telah berdiri sejak zaman Belanda tersebut menjadi terhambat, bahkan mati. Bukan hanya perdagangan “perempuan” saja yang ditutup, namun usaha-usaha milik warga lainnya, pedagang makanan, minuman, bahkan kacang goreng, juga ikut terancam. Hal ini menjadi beban pikiran yang cukup mengganggu warga yang menopangkan hidupnya dengan berjualan di Dolly. Rory pun mengaku tidak setuju dan menentang habis-habisan dengan penutupan Dolly, wanita yang hampir memasuki usia paruh baya ini mengaku bahwa semua keburukan-keburukan yang disebarkan di media oleh pemerintah hanyalah bohong belaka. “Yang katanya anak-anak di bawah umur pada make PSK (Pekerja Seks Komersil) di sini, itu semua bohong, yang datang ke sini ya udah pada gede-gede, orang dewasa semua, pada cukup umur,” ujar ibu yang menonton teatrikal dengan ditemani dua anaknya. Sehubungan dengan anak-anaknya yang berjumlah dua dan semuanya perempuan, Rory tak keberatan jika harus membesarkan kedua buah hatinya di lingkungan pelacuran. “Setiap kita di sini ya punya kehidupan sendiri-sendiri, para PSK ya punya kehidupan sendiri, kita ya biasa saja,” bahkan Rory mengaku tak khawatir jika anaknya bergaul dengan anak PSK. “Toh mereka semua juga manusia.”
Pertunjukkan teatrikal yang meskipun hanya sepintas dengan durasi tak lebih dari setengah jam, namun mampu menunjukkan betapa marah dan kecewanya warga Dolly terhadap pemerintah, dan menggambarkan tekad kuat mereka untuk mempertahankan rumah mereka. Di tengah suasana panas konflik, warga tengah menghimpun kekuatan dan menggalang kekompakkan dalam rangka melawan perlakuan aparat dan pemerintah. Upaya mereka ini turut mendapat dukungan dari beberapa pihak, salah satunya Mbah Gimbal. “dengan adanya lokalisasi saja tingkat pelecehan seksual di Indonesia sudah sangat tinggi, bayangkan jika tak ada lokalisasi,” ujar Mbah Gimbal kepada pers saat ditemui usai pertunjukkannya.

Disusun Oleh :
Frederyk Imanuel 1423012015
Laurencia Ivenna 1423012016

No comments:

Post a Comment